Beranda Artikel

Membumikan Makna Lailatul Qodar Dalam Perspektif Teologi Langit dan Sosial

heri solehudin
Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja.

Hari ini ummat Islam di seluruh dunia sedang melewati fase terakhir dibulan Ramadhan, suatu fase yang disebutkan sebagai turunnya Lailatul Qodar, Lailatul Qodar adalah suatu nama yang sudah sangat umum di telinga kita semua, disebutkan sebagai suatu malam yang sangat istimewa. Malam seribu bulan, malam dimana semua berlomba lomba untuk mendapatkannya. Malam seribu bulan merupakan malam dimana seseorang yang mampu mendapatkannya akan diampuni dosanya selama seribu bulan. Sungguh Allah maha pemurah dan pemaaf untuk seluruh umatnya.

Lailatul Qadar adalah kemurahan anugerah sekaligus proyeksi Tuhan sehingga manusia tidak kehilangan orientasi hidup. Karena itu, Lailatul Qadar tidak hanya hadir sebagai konsep teologi yang melangit, tetapi tidak menyentuh ke bumi, sebagai tempat manusia berpijak menegakkan ajaran Tuhan, namun juga merupakan konsepsi yang berdimensi sosial dan dapat diejawantahkan dalam realitas kehidupan sosial kita.

Dalam Islam ibadah merupakan media yang mengharmoniskan dan menselaraskan hidup,  realitas kehidupan akan selalu menjadi terang benderang dengan hadirnya komunikasi secara personal antara kita dengan Sang Khaliq ( Allah SWT), komunikasi personal yang selalu kita kemas dengan serangkaian ibadah ritual kita dan inilah substansi dari keberagamaan kita. Bahkan  seorang  Ilmuan Prancis, Alexis Carrel, pernah menyampaikan kekhawatirannya, bila dalam suatu masyarakat kehilangan ritual ibadah yang tulus kepada Tuhan, bersiaplah masyarakat tersebut menghadapi suatu kehancuran.

Baca:  Mahasiswa Belajar di Rumah! Apa Bisa?

Keistimewaan Lailatul Qodar

Allah merahasiakan Lailatul Qodar, adalah agar manusia mengagungkan seluruh tahun, seluruh bulan suci Ramadhan dan 10 malam di akhir bulan Ramadhan (tanpa memilah dan memilih satu dengan yang lainnya),  sebagaimana Allah merahasiakan keridoannya bagi orang yang taat kepada Allah agar mereka selalu  beribadah setiap saat. Dan sebagaimana Allah merahasiakan kebenciannya terhadap orang-orang maksiat (durhaka) agar mereka berhati-hati setiap saat, begitu juga Allah merahasiakan wali-wali-Nya di tengah kaum muslimin agar mereka memuliakan seluruh para wali Allah SWT.

Dalam literatur Islam klasik, sebenarnya ada beberapa cendekiawan Islam yang mencoba menafsirkan kehadiran Lailatul Qadar. Misalnya Imam Syafi’i, dalam pandangannya Lailatul Qadar itu jatuh pada malam ganjil 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan, menurut pendapat Syekh Wahab, Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 21 Ramadhan. Berbeda dengan mereka, Imam Nawawi menyebutkan bahwa malam Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 29 Ramadhan. Ulama lain yang memiliki pandangan tentang Lailatul Qadar, seperti Ibn Hazm menyebutkan bahwa malam Lailatul Qadar ada kalanya pada malam 21, 23, 25, 27, atau 29 Ramadhan.

Baca:  Refleksi Nuzulul Qur'an 1443 H : Menuju Pengetahuan Transendental

Konsepsi teologis tentang Lailatul Qadar, yang secara eksplisit dijelaskan dalam Al Quran sebagai malam agung, yang lebih baik dari seribu bulan (Al-Qadr [97]: 3) juga memiliki pengaruh besar bagi hadirnya ibadah-ibadah yang intens dan banyak kepada Allah SWT. Lailatul Qadar seperti imajinasi dari pengharapan besar banyak orang tentang hadirnya kebaikan dan keberkahan yang melimpah dalam kehidupan.

Teologi dan Kesalehan Sosial

Dalam Islam, ibadah selalu berkorelasi dengan hadirnya kesalehan sosial yang berwujud melalui hadirnya tingkah keadaban dengan tidak melakukan hal-hal yang destruktif (Al-Ankabut [29]: 45). Dalam konteks Lailatul Qadar, keutamaan dan kemuliaan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu harus dapat dihadirkan menjadi realitas yang membumi. Ibadah-ibadah dan pengharapan yang banyak harus terus dilakukan secara intens, tetapi kehadiran ibadah itu harus menjadi realitas, seperti konsepsi teologis tentang malam yang lebih baik dari seribu bulan. Artinya, kebaikan Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan tidak boleh mengendap sebagai keyakinan yang tidak bergerak.

Lailatul Qadar harus membumi dan terejawantahkan dalam realitas kehidupan kita, perilaku kehidupan  yang lebih baik dari seribu bulan. Sehingga, Lailatul Qadar bukan hanya konsep teologi melangit juga merupakan konsep teologi sosial. Bahkan jika merujuk pada surat al Qadr “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” Tafsir sosial dari teks ayat tersebut mengandaikan hadirnya orang-orang yang merayakan Lailatul Qadar dengan ibadah dan pengharapan yang besar akan menjadi sinar yang mensejahterakan dalam kehidupan.

Baca:  Unpak Launching Kegiatan Eduwisata Koro Pedang 4.0 Berbasis Kemitraan Koperasi

Karena itu jika dipahami secara substansial maka mereka yang beribadah tanpa henti dan mengharapkan mendapatkan Lailatul Qadar, akan tetapi ketika  tingkah lakunya tidak mencerminkan perubahan kepada yang lebih baik dari sebelumnya maka mereka itu berarti sejatinya belum berjumpa dengan Lailatul Qadar. Karena orang-orang yang berjumpa Lailatul Qadar akan menjadi penerang kehidupan bagi hadirnya kesejahteraan dan kebaikan hidup masyarakat yang lebih baik dari seribu bulan. Bahasa metaforis Al-Quran yang menyebutkan Lailatul Qadar sebagai “malam yang lebih baik dari 1000 bulan” adalah mencerminkan bahwa Ramadhan merupakan waktu dimana kita diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk melakukan revolusi spritualitas kita agar menjadi pribadi yang lebih  baik. Wallahu a’lam.

 

Penulis : Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja (Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Anggota Forum Doktor Sospol UI, Wakil Ketua PDM Kota Depok).